Feeds:
Posts
Comments

Archive for August, 2008

Saat ini merokok seolah sudah menjadi trend dalam sosialitas masyarakat Indonesia. Beragamnya pengkonsumsi telah menunjukan bahwa rokok telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat saat ini. Mulai dari anak kecil hingga orang dewasa dan dari kaum adam hingga kaum hawa mengkonsumsi benda yang memiliki banyak zat berbahaya tersebut. Maka, tak dapat dipungkiri lagi bahwa merokok saat ini telah menjadi kebutuhan primer bagi kalangan yang mengkonsumsinya. Pencegahan bahaya merokok yang tertera pada bungkus rokok pun tidak membuat masyarakat menyadari bahaya akibat mengkonsumsinya. Pada titik inilah kemudian lahir kebijakan yang mengundang kontroversial.

Adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meretaskan wacana pelarangan merokok di Indonesia dalam bentuk Undang-Undang. Pernah ada pelarangan merokok dalam kawasan umum di daerah Jakarta. Peraturan tersebut tersurat dalam bentuk Peraturan Daerah. Tetapi apa hasil positif yang dituai pada pelarangan tersebut? Tidak ada. Yang ada hanyalah sebuah fakta yang mencengangkan. Bahwa pulosi udara di Jakarta juga benar-benar dirasakan oleh masyarakatnya. Banyak kalangan pengkonsumsi yang mengatakan bahwa asap kendaraan bermotorlah yang patut untuk dikendalikan dahulu sebelum asap dari rokok yang mereka hisap.

Memang pada perancangan Undang-Undang yang baru ini inti permasalahannya berbeda. Sebagai fokus dari Undang-Undang ini adalah pencegahan untuk anak-anak dibawah 21 tahun. Tetapi yang kemudian menjadi pertanyaannya adalah, siapa yang akan memfilter pembelian rokok dengan jumlah eceran di negara yang sudah merdeka 63 tahun ini? Sulit untuk diberi tanggung jawab pada para penjual rokok eceran yang ada dijalan maupun kios-kios kecil yang berjamuran dijalan. Lalu siapa lagi yang kemudian patut memonitoring ketika memang para penjual eceran tersebut bersedia untuk tidak menjual kepada anak dibawah umur 21 tahun? Efek domino dari keberlanjutan siapa yang mengawas atau memonitoring inilah patut untuk diperhatikan lebih oleh perancang kebijakan.

Telah menjadi rahasia umum bahwa munculnya suatu kebijakan pasti akan menuai pro maupun kontra dikalangan masyarakat. Begitu juga dengan Undang-Undang yang rencananya akan digodok di lembaga legislatif dalam waktu dekat ini. Tetapi yang seharusnya diperhatikan dalam pembuatan kebijakan untuk publik adalah turut sertanya masyarakat dalam proses pembuatan kebijakannya. Sampai saat ini pembuatan kebijakan hanya melulu ditentukan dalam ruang tertutup (splendid isolation) di lembaga legislatif. Memang harus diakui juga terdapatnya survei sebelum pembuatan kebijakan. Tetapi yang menjadi masalah pada survey yang demikian adalah dalam tekhnik pengambilan sample secara random tidak terjadinya pertukaran argumentasi antara yang pro dan yang kontra, atau antara masyarakat pengkonsumsi dengan peretas kebijakan.

Maka pada titik inilah kemudian pemikiran Habermas tentang public sphere patut dijadikan cerminan dalam pembuatan kebijakan. Sebab struktur masyarakat yang emansipatif dan bebas dari dominasi terjadi ketika setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan atau putusan. Pada titik ini konsep Public sphere dijadikan medan pertukaran pengetahuan, hal ini dikarenakan kesahihan suatu kebijakan akan diuji dan ditentukan ketika masyarakat dapat memberikan argumennya secara rasional dan tanpa adanya tekanan.

Mengapa public sphere dari Habermas dapat dijadikan acuan dalam pembuatan kebijakan yang diperuntukan kepada publik? Hal ini akan berguna sebagai ajang untuk meminimalisir pendapat yang kontra. Sebab segala unek-unek yang ada dalam pikiran masing-masing kubu telah tersalurkan dan di”adu” dalam ruang publik. Disinilah kemudian makna dari demokrasi benar-benar muncul kepermukaan.

Kembali kepada permasalahan awal, apakah memang Undang-Undang pelarangan merokok akan benar-benar efektif dan berguna dalam sosialitas masyarakat Indonesia. Disamping pembuatan kebijakan yang cenderung tertutup dari argumen publik, patut diperhatikan pula nilai kegunaan rokok dalam konteks kenegaraan. Cukai yang dikenakan pada rokok merupakan salah satu penyumbang terbesar bagi devisa negara. Apabila ditilik kembali, apakah negara sanggup dengan Undang-Undang pelarangan merokok, yang kemudian akan menurunkan tingkat penjualan rokok di Indonesia.

Baiklah, apabila memang negara sanggup untuk mengalami kerugian dari dampak pembatasan pengkonsumsi merokok, tetapi yang kemudian menjadi masalah adalah seperti yang telah diungkap sebelumnya. Siapa yang kemudian bertanggung jawab untuk memonitoring pembelian rokok dibawah umur 21? Orang tua masing-masing remaja atau anak-anak? Kalau memang itu yang dijadikan jawaban, mengapa harus dijadikan Undang-Undang? Sebab apabila sudah menjadi Undang-Undang, satu kali kesalahan saja dilakukan, maka akan menjadi kesalahan pada tingkat pidana. Apa para orang tua sanggup untuk berurusan dengan pihak ‘yang berwajib’ apabila anaknya ketahuan merokok oleh pihak berwajib tetapi orang tuannya tidak tahu dengan berbagai alasan.

Oleh karena itu, kebijakan yang satu ini (tentang pelarangan merokok) sebaiknya harus dipikirkan masak-masak sebelum di lempar ke publik. Dengan asumsi bahwa pembuatan Undang-Undang harus lebih dulu digodok dalam kursi legislatif, tetapi sampai saat ini masih terlihat asap dari rokok di gedung DPR/MPR tersebut. Maka paradoksial dapat terjadi dalam Undang-Undang ini. Sebenarnya masih banyak masalah yang benar-benar serius dan memerlukan perhatian lebih dari pemerintah. Pendidikan, kemiskinan, pengangguran, KKN, pelanggaran HAM dan lain sebagainya masih menghantui negeri ini. Maka sudah sepantasnyalah dipilih prioritas yang kemudian didahulukan untuk dibahas. Tetapi bukan berarti masalah merokok ini tidak urgen sifatnya. Hanya saja dipikitrkan secara masak-masak dahulu sebelum wacana dilempar ke publik.

Maka sebuah konsep yang matang diperlukan dalam segala bentuk rancangan kebijakan. Terlebih kebijakan yang akan dibentuk kontradiksi dengan kegiatan yang sangat populis dimata masyarakat. Seperti pelarangan merokok. Terlepas dari bahaya atau tidaknya wacana yang diretaskan, semestinya telah terpikirkan juga implikasi dari kebijakan yang akan dibuat. Memang semua kembali kepada pilihan. Masyarakat mau sehat? Ya jangan merokok. Apabila ingin sehat, ya hiduplah dengan pola hidup yang benar, salah satunya adalah tidak merokok. Semua—masyarakat—menginkan tindakan yang terbaik untuk jumlah terbanyak. Tetapi sebuah tindakan juga harus memikirkan implikasinya, tidak asal cuap atas nama agama atau moralitas. Jadi, ayo mari berhitung yang manakah yang menjadi kebahagian terbesar untuk jumlah yang terbanyak….

Read Full Post »

Older Posts »